Oleh : M Andhika Darma Perkasa SE, SH, cMkn.
Advokat - PERADI
Dikutip dari Perkuliahan :
PIETER LATUMETEN, SH, MH (Dosen Universitas Indonesia) 2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Sistimatika Hukum Perdata
Menurut Ilmu Hukum (doktrin)
- Hukum tentang diri seseorang; memuat peraturan-peraturan tentang manusia sebagai subyek dalam hukum, peraturan-peraturan perihal kecakapan untuk memiliki hak-hak dan kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-haknya serta hal-hal yang mempengaruhi kecakapan-kecakapan itu.
- Hukum kekeluargaan; mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan, misal :
- perkawinan berikut harta benda perkawinan
- hubungan suami istri
- hubungan orang tua anak
- perwalian/curatele
- Hukum kekayaan; mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang. hak-hak dibidang hukum kekayaan terbagi dua :
- Hak mutlak (absolut) -> hak kebendaan, yaitu hak yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda dan dapat dipertahankan terhadap orang lain.
- Hak nisbi (relatif) -> hak perseorangan yaitu hak yang timbul dari suatu perikatan dan hanya dapat dipertahankan terhadap pihak-pihak tertentu saja.
- Hukum waris mengatur ikwal tentang benda atau kekayaan seseorang, jika ia meninggal dunia
Penempatan sistematika menurut ilmu pengetahuan tersebut jika dibandingkan dengan sitematika menurut KUHPerdata adalah sebagai berikut :
BUKU I "Orang"; menurut hukum tentang diri seseorang dan hukum keluarga
BUKU II "Benda" berisi hukum kekayaan absolut dan hukum waris
BUKU III "Perikatan" memuat hukum kekayaan relatif
BUKU IV "Pembuktian dan Daluwarsa" memuat alat-alat pembuktian dan akibat lewat waktu terhadap hubungan hukum
Sebagaimana kita lihat, hukum kekeluargaan didalam KUHPerdata tentang diri seseorang, karena hubungan-hubungan keluarga memang berpengaruh besar terhadap kecakapannya untuk mempergunakan hak-haknya itu. Hukum wairs menjadi bagian dari hukum kebendaan karena pembentukan Undang-Undang menganggap waris adalah salah satu cara untuk memperoleh hak kebendaan berdasarkan ketentuan 284 KUHPerdata.
Sementara perihal pembuktian dan daluwarsa sebenarnya adalah soal hukum acara sehingga kurang tepat jika diatur dalam KUHPerdata meteriel. Tetapi pada saat pembentukan KUHPerdata di negeri Belanda berkembang aliran yang berpendapat hukum acara dapat dibagi dalam bagian matereil dan bagian formil, sementara hukum pembuktian termasuk dalam hukum acara meteriel. karena sifatnya meteriel itulah maka hukum pembuktian diatur dalam KUHPerdata yang merupakan hukum perdata materiel.
B, Pengaturan Hukum Perikatan
Hukum perikatan diatur dalam Buku III tentang Perikatan. Terdiri dari 18 Bab yang terbagi atas :
Bab I sd. Bab IV tentang perikatan pada umumnya
Bab V sd. VIII tentang perjanjian khusus
Bagian atau aturan aturan umum khususnya mengenai perjanjian, berlaku terhadap bagian khusus perjanjian khusus /bersama, bahkan juga berlaku terhadap perjanjian-perjanjian yang tidak diatur atau di luar KUHPerdata, sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 1319 KUHPerdata: "smua perjanjian baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lalu'. Ketentuan bagian umum tersebut juga berlaku terhadap perjanjian-perjanjian yang diatur dalam KUHD, sepanjang KUHD tidak mengatur secara tersendiri dan menyimpang dari ketentuan dalam KUHPerdata. mengenai hubungan antara KUHPerdata dengan KUHD ini diatur oleh pasal 1 KUHD
"KUHPerdata seberapa jauh daripadanya dalam kitab ini tidak khusus diadakan penyimpangan-penyimpangan berlaku juga terhadap hal-hal yang dibicarakan dalam kitab ini".
Sebaliknya bilamana mengenai suatu hubungan hukum KUHD telah mengaturnya secara tersendiri dan menyimpang dari ketentuan KUHPerdata tersebut, maka yang berlaku adalah ketentuan dalam KUHD (lex specialis derogat lex generalis).
C. Sistem Terbuka dan Asas Kebebasan Berkontrak
Dikatakan bahwa Buku III KUHPerdata menganut sistem terbuka atau menganut azas kebebasan berkontrak. Hukum perjanjian memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk membuat perjanjian apa saja (dan mengenai apa saja) kendatipun perjanjian itu tidak atau belum diatur sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Adanya azas sistem terbuka ini dapat diketahui dari bunyi pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata
"Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya"
Kata "semua" dalam Pasal tersebut mengandung makna bahwa perjanjian yang dibuat itu tidak terbatas pada perjanjian bernama atau yang telah diatur saja, melainkan meliputi juga perjanjian yang tidak/belum diatur atau diluar KUHPerdata.
Sistem ternuka dari hukum perjanjian, mengandung suatu pengertian bahwa perjanjian-perjanjian khusus yang diatur dalam undang-undang hanyakah merupakan perjanjian yang paling terkenal saja dalam masyarakat pada saat KUHPerdata (BW) tersebut diundangkan. Sementara dalam praktek muncul macam perjanjian, misalnya sewa-beli, yang merupakan campuran transaksi antara jual-beli dan sewa menyewa. Sewa beli tersebut timbul karena adanya ketidakmampuan pembeli untuk membayar harga sekaligus (lunas), maka diadakanlah perjanjian yang mengatur pembayarannya secara angsuran, sementara hak milik baru akan berpindah apabila angsuran terakhir sudah dilunasi.
Lain halnya dengan buku II KUHPerdata yang menganut sistem tertutup, dimana orang tidak diperbolehkan membuat hak-hak kebendaan baru selain yang telah ditentukan oleh Undang-Undang.
Dikatakan juga bahwa aturan atau ketentuan dalam Hukum perjanjian (tidak seluruhnya) bersifat pelengkap atau mengatur (aanvullend recht, optimal law). Didalam membuat perjanjian para pihak aturan0aturan tersendiri yang bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang, Atau apabila mengenai sesuatu hal dalam perjanjian para pihak tidak mengaturnya, maka terhadap perjanjian itu ketentuan undang-undang akan berlaku sebagai aturan pelengkap.
Dengan demikian berarti, bahwa pasal=pasal itu boleh disingkirkan apabila dikehendaki oleh para pihak yang membuat suatu perjanjian. Mereka diperbolehkan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa mereka boleh mengadakan penyimpangan-penyimpangan dari ketentuan hukum perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang, Kesusilaan, dan Ketertiban Umum.
Dalam hal tidak diatur maka berarti mereka (para pihak) tunduk pada undang-undang. dengan demikian tepat jika diaktakan hukum perikatan dalam KUHPerdata hanya sebagai hukum pelengkap saja.
Dan memang biasanya orang yang mengadakan suatu perjanjian tidak mengatur secara terperinci semua persolan yang bersangkutan dengan perjanjian itu. Biasanya mereka hanya menyetujui hal=hal yang pokok saja, dengan tidak memikirkan soal lainnya.
Misalnya; kalau kita mengadakan perjanjian jual beli cukuplah para pihak sepakat mengenai obyek/barang dan harganya. Tentang dimana barang harus diserahkan, siapa yang memikil biaya untuk mengantar barang dan jika barang musnah sebelum diserahkan, soal-soal tersebut lazimnya tidak diperjanjikan. Dengan demikian tunduk pada aturan undang-undang.
BUKU III "Perikatan" memuat hukum kekayaan relatif
BUKU IV "Pembuktian dan Daluwarsa" memuat alat-alat pembuktian dan akibat lewat waktu terhadap hubungan hukum
Sebagaimana kita lihat, hukum kekeluargaan didalam KUHPerdata tentang diri seseorang, karena hubungan-hubungan keluarga memang berpengaruh besar terhadap kecakapannya untuk mempergunakan hak-haknya itu. Hukum wairs menjadi bagian dari hukum kebendaan karena pembentukan Undang-Undang menganggap waris adalah salah satu cara untuk memperoleh hak kebendaan berdasarkan ketentuan 284 KUHPerdata.
Sementara perihal pembuktian dan daluwarsa sebenarnya adalah soal hukum acara sehingga kurang tepat jika diatur dalam KUHPerdata meteriel. Tetapi pada saat pembentukan KUHPerdata di negeri Belanda berkembang aliran yang berpendapat hukum acara dapat dibagi dalam bagian matereil dan bagian formil, sementara hukum pembuktian termasuk dalam hukum acara meteriel. karena sifatnya meteriel itulah maka hukum pembuktian diatur dalam KUHPerdata yang merupakan hukum perdata materiel.
B, Pengaturan Hukum Perikatan
Hukum perikatan diatur dalam Buku III tentang Perikatan. Terdiri dari 18 Bab yang terbagi atas :
Bab I sd. Bab IV tentang perikatan pada umumnya
Bab V sd. VIII tentang perjanjian khusus
Bagian atau aturan aturan umum khususnya mengenai perjanjian, berlaku terhadap bagian khusus perjanjian khusus /bersama, bahkan juga berlaku terhadap perjanjian-perjanjian yang tidak diatur atau di luar KUHPerdata, sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 1319 KUHPerdata: "smua perjanjian baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lalu'. Ketentuan bagian umum tersebut juga berlaku terhadap perjanjian-perjanjian yang diatur dalam KUHD, sepanjang KUHD tidak mengatur secara tersendiri dan menyimpang dari ketentuan dalam KUHPerdata. mengenai hubungan antara KUHPerdata dengan KUHD ini diatur oleh pasal 1 KUHD
"KUHPerdata seberapa jauh daripadanya dalam kitab ini tidak khusus diadakan penyimpangan-penyimpangan berlaku juga terhadap hal-hal yang dibicarakan dalam kitab ini".
Sebaliknya bilamana mengenai suatu hubungan hukum KUHD telah mengaturnya secara tersendiri dan menyimpang dari ketentuan KUHPerdata tersebut, maka yang berlaku adalah ketentuan dalam KUHD (lex specialis derogat lex generalis).
C. Sistem Terbuka dan Asas Kebebasan Berkontrak
Dikatakan bahwa Buku III KUHPerdata menganut sistem terbuka atau menganut azas kebebasan berkontrak. Hukum perjanjian memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk membuat perjanjian apa saja (dan mengenai apa saja) kendatipun perjanjian itu tidak atau belum diatur sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Adanya azas sistem terbuka ini dapat diketahui dari bunyi pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata
"Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya"
Kata "semua" dalam Pasal tersebut mengandung makna bahwa perjanjian yang dibuat itu tidak terbatas pada perjanjian bernama atau yang telah diatur saja, melainkan meliputi juga perjanjian yang tidak/belum diatur atau diluar KUHPerdata.
Sistem ternuka dari hukum perjanjian, mengandung suatu pengertian bahwa perjanjian-perjanjian khusus yang diatur dalam undang-undang hanyakah merupakan perjanjian yang paling terkenal saja dalam masyarakat pada saat KUHPerdata (BW) tersebut diundangkan. Sementara dalam praktek muncul macam perjanjian, misalnya sewa-beli, yang merupakan campuran transaksi antara jual-beli dan sewa menyewa. Sewa beli tersebut timbul karena adanya ketidakmampuan pembeli untuk membayar harga sekaligus (lunas), maka diadakanlah perjanjian yang mengatur pembayarannya secara angsuran, sementara hak milik baru akan berpindah apabila angsuran terakhir sudah dilunasi.
Lain halnya dengan buku II KUHPerdata yang menganut sistem tertutup, dimana orang tidak diperbolehkan membuat hak-hak kebendaan baru selain yang telah ditentukan oleh Undang-Undang.
Dikatakan juga bahwa aturan atau ketentuan dalam Hukum perjanjian (tidak seluruhnya) bersifat pelengkap atau mengatur (aanvullend recht, optimal law). Didalam membuat perjanjian para pihak aturan0aturan tersendiri yang bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang, Atau apabila mengenai sesuatu hal dalam perjanjian para pihak tidak mengaturnya, maka terhadap perjanjian itu ketentuan undang-undang akan berlaku sebagai aturan pelengkap.
Dengan demikian berarti, bahwa pasal=pasal itu boleh disingkirkan apabila dikehendaki oleh para pihak yang membuat suatu perjanjian. Mereka diperbolehkan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa mereka boleh mengadakan penyimpangan-penyimpangan dari ketentuan hukum perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang, Kesusilaan, dan Ketertiban Umum.
Dalam hal tidak diatur maka berarti mereka (para pihak) tunduk pada undang-undang. dengan demikian tepat jika diaktakan hukum perikatan dalam KUHPerdata hanya sebagai hukum pelengkap saja.
Dan memang biasanya orang yang mengadakan suatu perjanjian tidak mengatur secara terperinci semua persolan yang bersangkutan dengan perjanjian itu. Biasanya mereka hanya menyetujui hal=hal yang pokok saja, dengan tidak memikirkan soal lainnya.
Misalnya; kalau kita mengadakan perjanjian jual beli cukuplah para pihak sepakat mengenai obyek/barang dan harganya. Tentang dimana barang harus diserahkan, siapa yang memikil biaya untuk mengantar barang dan jika barang musnah sebelum diserahkan, soal-soal tersebut lazimnya tidak diperjanjikan. Dengan demikian tunduk pada aturan undang-undang.
BAB II
SUBSTANSI BUKU III KUH PERDATA
TENTANG PERIKATAN
A. Sumber Perikatan
Menurut ketentuan Pasal 1233 KUHPerdata "tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang".
Dari bunyi pasal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa :
(1) Perikatan lahir karena undang-undang saja (semata) terbagi atas :
- UU karena bukan perbuatan manusia
Misal : * Pasal 625 KUHPerdata tentang perkarangan yang berbatasan menimbulkan hak para tetangganya
* tentang nafkah hidup
- UU karena perbuatan manusia
Misal : - Perbuatan manusia yang halal
- tidak melanggar hukum
- pasal 1354 KUHPerdata
- UU karen perbuatan melawan hukum -> 1365 KUHPerdata
(2) Perikatan lahir karena Perjanjian
B. Pengertian-Pengertian Dasar Perikatan
1. Pengertian
a. Perikatan
Menurut Prof Subekti. perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara 2 pihak/lebih dimana satu pihak berhak menuntut, sedangkan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan.
b. Perjanjian;
Prof Subekti merumuskan sebagai berikut : Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana 2 orang atau lebih berjanji untuk melakukan suatu hal (prestasi).
Undang-Undang tidak memberikan rumusan, hanya dapat dilihat dari bunyi pasal 1313 KUHPerdata "Suatu Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lainnya."
Menurut ketentuan Pasal 1233 KUHPerdata "tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang".
Dari bunyi pasal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa :
(1) Perikatan lahir karena undang-undang saja (semata) terbagi atas :
- UU karena bukan perbuatan manusia
Misal : * Pasal 625 KUHPerdata tentang perkarangan yang berbatasan menimbulkan hak para tetangganya
* tentang nafkah hidup
- UU karena perbuatan manusia
Misal : - Perbuatan manusia yang halal
- tidak melanggar hukum
- pasal 1354 KUHPerdata
- UU karen perbuatan melawan hukum -> 1365 KUHPerdata
(2) Perikatan lahir karena Perjanjian
B. Pengertian-Pengertian Dasar Perikatan
1. Pengertian
a. Perikatan
Menurut Prof Subekti. perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara 2 pihak/lebih dimana satu pihak berhak menuntut, sedangkan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan.
b. Perjanjian;
Prof Subekti merumuskan sebagai berikut : Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana 2 orang atau lebih berjanji untuk melakukan suatu hal (prestasi).
Undang-Undang tidak memberikan rumusan, hanya dapat dilihat dari bunyi pasal 1313 KUHPerdata "Suatu Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lainnya."
2. Subyek perikatan
Subyek perikatan adalah para pihak yang terlibat dalam suatu perikatan, dalam hal ini dibedakan antara :
(a) Kreditur adalah pihak yang berhak atas suatu prestasi dari debiturnya
(b) Debitur adalah orang/pihak yang dalam suatu perikatan berkewajiban untuk memberikan prestasi kepada debitur.
3. Obyek Perikatan
Pasal 1234 KUHPerdata merumuskan mengenai prestasi atau suatu hal yang haruss dilakukan dalam suatu perjanjian suatu hal dimaksud itu adalah :
(a) Memberikan sesuatu, sesuatu yang dimaksud disini harus ditentukan dengan tegas.
(b) Berbuat sesuatu, inipun haruss dirinci, prestasi dalam bentuk apa yang disepakati oleh kedua pihak tersebut.
(c) Tidak berbuat sesuatu, dalam perjanjian harus dirinci apa yang dimaksud dengan tidak berbuat ssessuatu tersebut.
Subyek perikatan adalah para pihak yang terlibat dalam suatu perikatan, dalam hal ini dibedakan antara :
(a) Kreditur adalah pihak yang berhak atas suatu prestasi dari debiturnya
(b) Debitur adalah orang/pihak yang dalam suatu perikatan berkewajiban untuk memberikan prestasi kepada debitur.
3. Obyek Perikatan
Pasal 1234 KUHPerdata merumuskan mengenai prestasi atau suatu hal yang haruss dilakukan dalam suatu perjanjian suatu hal dimaksud itu adalah :
(a) Memberikan sesuatu, sesuatu yang dimaksud disini harus ditentukan dengan tegas.
(b) Berbuat sesuatu, inipun haruss dirinci, prestasi dalam bentuk apa yang disepakati oleh kedua pihak tersebut.
(c) Tidak berbuat sesuatu, dalam perjanjian harus dirinci apa yang dimaksud dengan tidak berbuat ssessuatu tersebut.
C. Macam-Macam Perikatan
1. Menurut KUHPerdata
a. Perikatan bersyarat:
"Suatu perikatan yang digantungkan atas suatu peristiwa yang belum tentu terjadi".
1) SYARAT TANGGUH, perbuatannya belum lahir, seketika peristiwa yang dijanjikan terjadi, barulah peristiwa tersebut lahir/ada;
2) SYARAT BATAL, dalam perikatan denngan syarat batal, peristiwanya sudah ada kemudian jika peristiwanya yang dijanjikan terjadi, batal/hapuslah perikatannya, kembali pada keadaan semula.
b. Perikatan yang digantungkan pada ketetapan waktu
Berlakunya perikatan disepakati dalam jangka waktu tertentu
Misal: perjanjian kontrak rumah, disepakati akan berlaku untuk jangka waktu 2 tahun, setelah lewat 2 tahun perjanjiannya berakhir.
c. Perikatan tanggung menanggung
Dalam bentuk ini ada beberapa orang bersama-sama sebagai pihak berhutang atau sebaliknya, beberapa orang sebagai pihak penagih (kreditur). Perikatan tanggung menanggung lazim diperjanjikan dalam suatu perjanjian.
Contoh konkrit dalam suatu perseroan firma, dimana menurut undang-undang masing-masing pesero bertanggung jawab sepenuhnya untuk seluruh hutang firma.
d. Perikatan yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi
Dapat atau tidak dapat dibagi harus digantungkan pada prestasi yang akan/wajib dilakukan.
e. Perikatan dengan ancaman hukuman.
Perikatan dalam bentuk ini, dimaksudkan untuk mencegah jangan sampai debitur melakukan kewajibannya. Hukumannya biasanya ditetapkan dalam suatu jumlah uang tertentu yang sebenarnya merupakan pembayaran kerugian yang sejak semula sudah disepakati oleh para pihak.
a. Perikatan bersyarat:
"Suatu perikatan yang digantungkan atas suatu peristiwa yang belum tentu terjadi".
1) SYARAT TANGGUH, perbuatannya belum lahir, seketika peristiwa yang dijanjikan terjadi, barulah peristiwa tersebut lahir/ada;
2) SYARAT BATAL, dalam perikatan denngan syarat batal, peristiwanya sudah ada kemudian jika peristiwanya yang dijanjikan terjadi, batal/hapuslah perikatannya, kembali pada keadaan semula.
b. Perikatan yang digantungkan pada ketetapan waktu
Berlakunya perikatan disepakati dalam jangka waktu tertentu
Misal: perjanjian kontrak rumah, disepakati akan berlaku untuk jangka waktu 2 tahun, setelah lewat 2 tahun perjanjiannya berakhir.
c. Perikatan tanggung menanggung
Dalam bentuk ini ada beberapa orang bersama-sama sebagai pihak berhutang atau sebaliknya, beberapa orang sebagai pihak penagih (kreditur). Perikatan tanggung menanggung lazim diperjanjikan dalam suatu perjanjian.
Contoh konkrit dalam suatu perseroan firma, dimana menurut undang-undang masing-masing pesero bertanggung jawab sepenuhnya untuk seluruh hutang firma.
d. Perikatan yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi
Dapat atau tidak dapat dibagi harus digantungkan pada prestasi yang akan/wajib dilakukan.
e. Perikatan dengan ancaman hukuman.
Perikatan dalam bentuk ini, dimaksudkan untuk mencegah jangan sampai debitur melakukan kewajibannya. Hukumannya biasanya ditetapkan dalam suatu jumlah uang tertentu yang sebenarnya merupakan pembayaran kerugian yang sejak semula sudah disepakati oleh para pihak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar