1. Pengaturan Jabatan Notaris
Jabatan Notaris ini diatur berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris yang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 117. Sebelum diundangkannya Undang-undang Nomor 30
Tahun 2004, jabatan Notaris diatur berdasarkan Ordonansi Staatsblad 1860 Nomor
3 (Regelement op Het Notaris Ambt in Indonesie) sebagaimana yang telah diubah
terakhir dalam Lembaran Negara Tahun 1945 Nomor 101. Selain itu juga terdapat
beberapa peraturan yang mengatur mengenai jabatan Notaris meskipun telah
dicabut dan tidak berlaku lagi, yakni:
a.
Ordonantie 16 September 1931 tentang Honorarium Notaris
b.
Undang-undang Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris
Sementara (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Nomor
700)
c.
Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 tentang Sumpah/Janji Jabatan
Notaris
b.
Selain itu juga, dalamn hal menjalankan tugas dan wewenangnya, segala
tindak-tanduk seorang Notaris juga harus memperhatikan Kode Etik Notaris.
2. Pengertian Jabatan Notaris
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004,
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini. Definisi yang
diberikan Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 merujuk pada tugas dan wewenang
Notaris yakni sebagai pejabat umum yang berwewenang untuk membuat akat otentik
serta kewenangan lainnya yang diatur dalam undang-undang Nomor 30 Tahun 2004.
Pembutan akta otentik ada yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan
dalam rangka menciptakan kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum.
Istilah-istilah atau pengertian dari jabatan atau pejabat berkaitan dengan
wewenang[1].
Jabatan merupakan subjek hukum (persoon), yakni pendukung hak dan
kewajiban. Oleh Hukum Tatanegara kekuasaan tidak diberikan kepada pejabat
(orang) tetapi diberikan kepada jabatan (lingkungan pekerjaan). Sebagai subjek hukum
yaitu badan hukum maka jabatan itu dapat menjamin kontinuitet hak dan
kewajiban. Pejabat (yang menduduki jabatan) selalu berganti-ganti, sedangkan
jabatan terus-menerus[2].
Jabatan Notaris diadakan atau kehadirannya dikehendaki oleh aturan hukum
dengan maksud untuk membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan alat
bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan
hukum. Jabatan Notaris merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh Negara[3].
Menempatkan Notaris sebagai jabatan merupakan suatu bidang pekerjaan atau tugas
yang sengaja dibuat oleh aturan hukum untuk keperluan dan fungsi tertentu
(kewenangan tertentu) serta bersifat berkersinambungan sebagai suatu lingkungan
pekerjaan tetap[4]
3. Pengangkatan dan Pemberhentian Jabatan
Notaris
Pengangkatan dan Pemberhentian Jabatan
Notaris Berdasarkan Pasal 2
Undang-undang Nomor 30 tahun 2004, seorang Notaris diangkat dan diberhentikan
oleh Menteri, dalam hal ini Menteri Hukum dan HAM.
Seseorang agar dapat
diangkat menjadi seorang Notaris harus memenuhi persyaratan tertentu.
Persyaratan tersebut mutlak harus dipenuhi, yang diatur dalam Pasal 3
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004, yakni:
- Warga Negara Indonesia;
- Bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa;
- Berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun;
- Sehat jasmani dan rohani (Yang dimaksud dengan sehat jasmani dan rohani adalah bahwa mampu secara jasmani dan rohani untuk melaksanakan wewenang dan kewajiban sebagai Notaris)
- Berijasah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan:
- Telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan Notaris dalam waktu 12 (duabelas) bulan berturut-turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua; (Yang dimaksud dengan prakarsa sendiri adalah bahwa calon Notaris dapat memilih sendiri di kantor yang diinginkan dengan tetap mendapatkan rekomendasi dari Organisasi Notaris)
- Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat Negara, advokad atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris. (Yang dimaksud dengan pegawai negeri dan poejabat Negara adalah sebagimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 43 Tahun 199 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 8 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. Yang dimaksud dengan advokad adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokad).
Lazimnya jabatan lain, sebelum seorang calon Notaris memamngku Jabatan
Notaris harus mengucapkan sumpah/janji yang sebagaimana telah diatur dalam
Pasal 4 Undang-undang Nomo 30 Tahun 2004 menurut agamanya di hadapan Menteri
atau pejbatan yang ditunjuk. Pengucapan janji/sumpah ini dilakukan dalam waktu
paling lama 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal keputusan pengangkatan
sebagai Notaris. Dalam hal ini, jika pengucapan sumpah/janji tidak dilakukan
maka keputusan pengatan Notaris dapat dibatalkan oleh Menteri.
Setelah seorang Notaris diangkatan dan mengucapkan sumpah/janji, dalam waktu
30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pengambilan sumpah/janji, memiliki kewajiban
yang harus dilaksanakan. Kewajiban tersebut diatur dalam Pasal 7 Undang-undang
Nomor 30 tahun 2004 yang berupa:
a. Menjalankan jabatannya dengan nyata;
b. Menyampaikan berita acara
sumpah/janjijabatan Notaris kepada Menteri, Organisasi Notaris dan Majelis
Pengawas Daerah; dan
c. Menyampaikan alamat kantor, contoh tanda
tangan dan paraf serta teraan cap/stempel jabatan Notaris berwarna merah kepada
Menteri dan pejabat lain yang bertanggung jawab di bidang agrarian pertanahan,
Organisasi Notaris, Ketua Pengadilan Ngeri, Majelis Pengawas daerah serta
Bupati atau walikota di tempat Notaris diangkat.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengetahui Notaris yang bersangkutan telah
melaksanakan tugasnya dengan nyata.
Selain mengatur mengenai pengangkatan, Undang-undang Nomor 30 tahun 2004
juga mengatur mengenai pemberhentian Notaris yakni diatur dalam Bab II Bagian
Kedua Pasal 8 sampai dengan Pasal 14. Berdasarkan Pasal 8 Undang-undang Nomor
30 Tahun 2004, Notaris dapat berhenti atau diberhentikan dari jabatannya dengan
hormat karena:
a.
Meninggal dunia;
b. Telah berumur 65 (enem puluh lima)
tahun:
c. Ketentuan mengenai usia ini dapat
diperpanjang samapi dengan umur 67 (enam
puluh tujuh) tahun dengan
mepertimbangkan kesehatan Notaris tersebut.
d. Permintaan sendiri;
e. Tidak mampu secara rohani dan/atau
jasmani untuk melaksanakan tugas jabatan Notaris secara terus menerus lebih
dari 3 (tiga) tahun;
f. Ketidakmampuan secara rohani dan/atau
jasmani secara terus menerus dalam hal ini harus dibuktikan dengan surat dari
keterangan dokter ahli.
g. Merangkap jabatan.
Pengaturan di atas tersebut mnegatur mengenai berhenti atau
diberthentikannya serorang Notaris secara tetap. Notaris dapat diberhentikan
sementara dari jabatannya dikarenakan:
a.
Dalam proses pailit atau penundaan pembayaran hutang;
b. Berada di bawah pengampuan;
c. Melakukan perbuatan tercela;
Yang dimaksud dengan perbuatan tercela
adalah melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan norma agama, norma
kesusilaan dan norma adat.
d. Melakukan pelanggaran terhadap
kewajiban.
Mengenai pemberhentian sementara Notaris ini tidak serta merta
diberhentikan tetapi Notaris diberikan kesempatan untuk melakukan pembelaan
diri secara berjenjang di hadapan Majelis Pengawas, maksudnya pembelaan ini
dilakukan mulai dari Majelis Pengawas Daerah, Majelis Pengawas Wilayah hingga
Majelis Pengawas Pusat. Notaris yang diberhentikan secara sementara ini dapat
diangkat kembali menjdi seorang Notaris sebagaimana yang telah diatru dalam
Pasal 10 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004.
Berdasarkan Pasal 12 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004, Notaris dapat
diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya oleh Menteri atas usulan
majelis Pengawas Pusat apabila:
a.
Dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap;
b.
Berada dibawah pengampuan secara terus menerus lebih dari 3 (tiga) tahun;
c.
Melakukan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat jabatan
Notaris; atau
d.
Melakukan pelanggaran berat terhadap kewajiaban dan larangan jabatan.
4. Kewenangan, Kewajiban dan Larangan
Jabatan Notaris Mengenai kewenangan Notaris
Kewenangan, Kewajiban dan Larangan Jabatan
Notaris Mengenai kewenangan Notaris diatur dalam Bab III Bagian Pertama Pasal 15 Undang-undang Nomor 30 Tahun
2004. berdasarkan pasal tersebut Notaris berwenang untuk membuat akta otentik
semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan
perundang-undangan dan/atau yang dikendaki oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta,
menyimpan akta, memberikan groose, salinan dan kutipan akta, semua itu
sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan
kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh udang-undang. Selain
itu juga, Notaris memiliki keweangan lainnya yakni berupa:
a.
Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bwah
tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
b.
Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
c.
Membuat kopi dari surat asli surat-surat di bawahtangan berupa salinan yang
memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang
bersangkutan;
d.
Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi demngan surat asli;
e.
Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;
f.
Membuat akta yang berkaiatan dengan pertanahan; dan
g.
Membuat akta risalah lelang.
Dalam menjalankan jabatannya soerang Notaris memiliki kewajiban-kewajiban
yang sebagaimana diatur dalam Bab III bagian Kedua Pasal 16 Undang-undang Nomor
30 Tahun 2004. Seorang Notaris wajib bertindak jujur, seksama dan tidak
memihak. Kejujuran merupakan hal yang penting karena jika seorang Notaris
bertindak dengan ketidakjujuran maka akan banyak kejadian yang merugikan klien
bahkan akan menurunkan ketidak percayyan klien terhadap Notaris tersebut.
Kesaksamaan bertindak merupakan salah satu hal yang juga harus selalu dilakukan
seorang Notaris[1].
Selain itu juga dalam melaksankan jabatannya Notaris juga berkewajiban untuk
menjaga kerahasiaan klien, membuat dokumen atau akta yang diminta oleh
klien,mambuat daftar akta-akta yang dibuatnya, membacakan akta di hadapan para
pihak, menerima magang di kantornya. Mengenai kewajiban Notaris ini diatur
dalam Bab III Bagian Kedua Pasal 16 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004, yakni:
a. Bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak dan menjaga kepentingan
pihak yang terkait dalam pembuatan akta;
b. Membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari
Protokol Notaris;
c. Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta
Akta;
d. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini,
kecuali ada alasan untuk menolaknya;
e. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala
keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji
jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain;
f. Menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat
tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, jika jumlah akta tidak dapat dimuat
dalam 1 (satu) buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari 1 (satu)
buku dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan dan tahun pembuatan pada sampul
setiap buku;
g. Membuat daftar dari akta protes terhadap tidak bayar atau tidak diterimanya
surat berharga;
h. Membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu
pembuatan akta setiap bulan;
i. Mengirimkan daftar akta atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke
Daftar Pusat Wasiat Departemen yang bertugas dan bertanggung jawab di bidang
kenotariatan dalam waktu 5 (lima) had pada minggu pertama setiap bulan
berikutnya;
j. Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap
akir bulan;
k. Mempunyai cap/stempel yang memuat lambang Negara Republik Indonesia dan
pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan dan tempat kedudukan
yang bersangkutan;
l. Membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2
(dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi
dan Notaris.
Selain mengatur mengenai kewenangan serta kewajiban Notaris dalam
melaksanakan jabatannya juga diatur mengenai larangan yakni diatur dalam Bab
III Bagian Ketiga Pasal 17 Undang-undang Nomor 30 tahun 2004, yakni:
a.
Menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya;
b.
Meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja
berturut-turut tanpa alasan yang sah;
c.
Merangkap sebagai pegawai negeri;
d.
Merangkap jabatan sebagai pejabat negara;
e.
Merangkap jabatan sebagai akvokad;
f. Merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai Badan Usaha Milik Negara,
Badan Usaha Milik Daerah atau Badan Usaha Milik Swasta;
g. Merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di luar wilayah
jabatan Notaris;
h.
Menjadi Notaris Pengganti; dan
i. Melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan
atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan Notaris.
5. Tempat Kedudukan, Formasi dan Wilayah
Jabatan NotarisTempat kedudukan jabatan Notaris
Tempat Kedudukan, Formasi dan Wilayah Jabatan
NotarisTempat kedudukan jabatan Notaris diatur dalam Bab IV Bagian Pertama Pasal 18 sampai dengan Pasal 20
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004. Berdasarkan Pasal 18 Undang-undang Nomor 30
Tahun 2004 mengatur bahwa Notaris mempunyai tempat kedudukan di daerah
kabupaten atau kota yang wilayah jabatannya meliputi seluruhwilayah provinsi
dari tempat kedudukannya. Notaries dalam tempat kedudukannya harus memiliki
satu kantor saja dan tidak berwenang secara teratur menjalankan jabatannya di
luar tempat kedudukannya. Hal tersebut diatur dalam Pasal 19 Undang-undang
Nomor 30 Tahun 2004. Berdasarkan Pasal 20 Undang-undang Nomor 30 Tahun
2004, Notaris dapat menjalakan jabatannya dalam bentuk perserikatan perdata
dengan tetap memperhatikan kemandirian dan ketidakberpihakan dalam menjalankan
jabatannya.
Dalam hal penempatan Notaris di suatu wilayah juga harus memperhatikan
formasi jabatan Notaris yang dimana hal tersebut diatur dalam Bab IV Bagian
Kedua Pasal 21 dan Pasal 22 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004. Berdasarkan
Pasal 21 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 mengatur bahwa Menteri berwenang
menentukan formasi jabatan Notaris pada daerah dengan mempertimbangkan usul
dari Organisasi Notaris. Formasi Jabatan Notaris ditetapkan berdasarkan:
a.
Kegiatan dunia usaha;
b.
Jumlah penduduk; dan/atau
c.
Rata-rata jumlah akta yang dibuat oleh dan/atau di hadapan Notaris setiap
bulan.
Ketentuan mengenai formasi Jabatan Notaris ini akan diatur lebih lanjut
dalam Perarturan Menteri. Hal tersebut diatur dalam Pasal 22 Undang-undang
Nomor 30 Tahun 2004.
Dalam jangka waktu menjalankan jabatannya, Notaris dapat pindah tempat
kedudukan. Mengenai Notaris yang akan memindahkan tempat kedudukan maka Notaris
tersebut harus mengajukan permohonan pindah wilayah jabatan Notaris secara
tertulis kepada Menteri. Permohonan ini diajukan setelah mendapat izin dari
Organisasi Notaris dan setelah 3 (tiga) tahun berturut-turut menjalankan tugas
jabatannya pada daerah atau kota tempat kedudukan Notaris. Hal tersebut diatur
dalam pasal 23 Undang-undang Nomor 30 tahun 2004.
6. Pengawasan Jabatan Notaris
Dalam menjalankan jabatannya, Notaris diawasi yang dilakukan oleh Menteri
dengan membentuk sebuah Majelis Pengawas yang terdiri dari:
a.
Pemerintah sebanyak 3 (tiga) orang;
b.
Organisasi Notaris sebanyak 3 (tiga) orang; dan
c.
Ahli/akademisi sebanyak 3 (tiga) orang.
Yang dimana Mejelis Pengawas ini dibedakan menjadi 3 bagian berdasarkan
tempat kedudukannya, yakni:
a.
Majelis Pengawas Daerah;
b.
Majelis Pengawas Wilayah; dan
c.
Majelis Pengawas Pusat.
Ketiga Majelis Pengawas tersebut memiliki kewenangan dan kewajiban yang
berbeda-beda satu sama lain. Hal tersebut diatur dalam Pasal 67 dan Pasal 68
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004.
Majelis Pengawas Daerah berkedudukan di kabupaten atau kota yang dimana
dalam pelaksanaannya dibantu oleh seorang sekretaris yang ditunjuk dalam Rapat
Majelis Pengawas Daerah. Dalam pelaksanaannya Majelis Pengawas Daerah berwenang
untuk:
a. Menyelanggarakan siding untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran Kode Etik
Notaris atau pelanggaran pelaksanaan jabatan Notaris;
b. Melakukan pemeriksaan terhadap Protokol Notaris secara berkala 1 (satu)
kali dalam 1 (satu) tahun atau setiap waktu yang dianggap perlu;
c. Memberikan izin cuti untuk waktu sampai dengan 6 (enam) bulan;
d. Menetapkan Notaris Pengganti dengan memperhatikan usul Notaris yang
bersangkutan;
e. Menentukan tempat penyimpanan Protokol Notaris yang pada saat serah terima
Protokol Notaris telah berumur 25 (dua puluh lima) tahun atau lebih;
f. Menunjuk Notaris yang akan bertindak sebagai pemegang sementara Protokol
Notaris yang diangkat sebagai pejabat negara;
g. Menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran Kode
Etik Notaris atau pelanggaran ketentuan dalam undang-undang ini; dan
h.
Membuat dan menyampaikan laporan kepada Majelis Pengawas Wilayah.
Selain itu juga, Majelis Pengawas Daerah memiliki kewajiban-kewajiban,
yakni:
a. Mencatat pada buku daftar yang termasuk dalam Protokol Notaris dengan
menyebutkan tanggal pemeriksaan, jumlah akta serta jumlah surat di bawah tangan
yang disahkan dan dibuat sejak tanggal pemeriksaan terakhir;
b. Membuat berita acara pemeriksaan dan menyampaikannya kepada Majelis
Pengawas Wilayah setempat dengan tembusan kepada Notaris yang bersangkutan,
Organisasi Notaris dan Majelis Pengawas Pusat;
c.
Merahasiakan isi akta dan hasil pemeriksaan;
d. Menerima salinan yang telah disahkan dari daftar akta dan daftar lain dari
Notaris dan merahasiakannya;
e. Memeriksa laporan masyarakat terhadap Notaris dan menyampaikan hasil
pemeriksaan tersebut kepada Majelis Pengawas Wilayah dalam kurun waktu 30 (tiga
puluh) hari, dengan tembusan kepada pihak yang melaporkan, Notaris yang
bersangkutan, Majelis Pengawas Pusat dan Organisasi Notaris;
f. Menyampaikan permohonan banding terhadap keputusan penolakan cuti.
Mengenai kewenangan serta kewajiban dari Majelis Pengawas Daerah, hal
tersebut diatur dalam Pasal 70 dan Pasal 71 Undang-undang Nomor 30 tahun 2004.
Selain adanya Majelis Pengawas Daerah, juga terdapat Majelis Pegawas
Wilayah. Majelis Pengawas Wilayah ini berkedudukan di ibukota provinsi yang
dimana memiliki kewenangan serta kewajiban yang berbeda dengan Majelis Pengawas
Daerah. Berdasarkan Pasal 73 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004, Majelis
Pengawas Wilayah berwenang untuk:
a.
Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan atas
laporan masyarakat yag disampaikan melalui Majelis Pengawas Wilayah;
b.
Mememanggil Notaris terlapor untuk dilakukannya pemeriksaan atas laporan;
c.
Memberikan izin cuti lebih dari 6 (enam) bulan sampai dengan 1 (satu)
tahun;
d. Memeriksa dan memutus atas keputusan Majelis Pengawas Daerah yang menolak
cuti yang diajukan oleh Notaris pelapor;
e.
Memberikan sanksi berupa teguran lisan maupun tertulis;
f. Mengusulkan pemberian sanksi terhadap Notaris kepada Majelis Pengawas Pusat
yang berupa:
1) Pemberhetian sementara 3 (tiga) bulan sampai dengan 6
(enam) bulan; atau
2) Pemberhetian dengan tidak hormat.
g.
Membuat berita acara atas setiap keputusan penjatuhan sanksi.Keputusan yang
dijatuhkan oleh Majelis Pengawas Wilayah bersifat final dan setiap keputusan
yang dijatuhkan akan dibuat dalam berita acara. Dalam pemeriksaannya, Notaris
diperkenankan melakukan pembelaan dan pemeriksaan tersebut bersifat tertutup
untuk umum.
Selain memiliki kewenangan, Majelis Pengawas Wilayah memiliki kewajiban
yang sebagaimana diatur dalam Pasal 75 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 yang
berupa:
a. Menyampaikan keputusan kepada Notaris yang bersangkutan dengan tembusan
kepada Majelis Pengawas Pusat dan Organisasi Notaris; dan
b. Menyampaikan pengajuan banding dari Notaris kepada Majelis Pengawas Pusat
terhadap penjatuhan sanksi dan penolakan cuti.
Dengan adanya Majelis Pengawas Daerah dan Majelis Pengawas Wilayah maka
pengawasan terhadap pelaksanaan jabatan Notaris ditingkatan yang paling tinggi
dilakukan oleh Majelis Pengawas Pusat. Mejelis Pengawas Pusat ini berkedudukan
di ibukota negara, yang memiliki kewenangan untuk:
a. Menyelenggarakan siding untuk memeriksa dan mengambil keputusan dalam
tingkat banding terhadap penjatuhan sanksi dan penolakan cuti;
b.
Memanggil Notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan;
c.
Menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara; dan
d. Mengusulkan pemberhetian sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat
kepada Menteri.
Mengenai kewenangan Majelis Pegawas Pusta tersebut diatur dalam Pasal 77
Undang-undang Nomor 30 tahun 2004. Pemeriksaan yang dilakukan oleh Majelis
Pengawas Pusat ini berdasarkan Pasal 78 Undang-undang Nomor 30 tahun 2004
bersifat terbuka untuk umum dan Notaris diberi hak untuk melakukan pembelaan
diri dalam pemeriksaan tersebut. Sedangkan mengenai kewajiban dari Majelis
Pengawas Pusat diatur dalam Pasal 78 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 yang
dimana Majelis Pengawas Pusat berkewajiban untuk menyampaikan hasil keputusan
kepada Menteri dan Notaris yang bersangkutan dan tembusa kepada Majelis
Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas Daerah yang bersangkutan serta Organisasi
Notaris.
7. Organisasi Notaris
Seperti halnya advokat, Notaris juga memiliki Organisasi Notaris yang
dimana mengenai tujuan, wewenang, tata kerja dan susunan organisasi tersebut
diatur dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga organisasi tersebut.
Organisasi Notaris inilah yang menetapkan dan menegakkan Kode Etik Notaris.
Selain itu juga dalam Organisasi Notaris ini memiliki daftar anggota da
salinannya disampaikan kepada Menteri dan Majelis Pengawas. Mengenia Organisasi
Notaris ini diatur dalam Pasal 82 dan Pasal 83 Undang-undang Nomor 30 Tahun
2004.
[1] Ira
Koesoemawati & Yunirman Rijan, Ke Notaris, (Jakarta: Raih Asa
Sukses, 2009), hlm. 41
[1] Habib
Adjie, Sekilas Dunia Notaris & PPAT Indonesia (Kumpulan Tulisan),
(Bandung: CV Badar Maju, 2009), hlm. 2
[2] Ibid,
hlm. 3
[3] Bagir
Manan, Hukum Positif Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2004), hlm.
15 dlm ibid, hlm. 23
[4] Ibid
sumber
https://adityoariwibowo.wordpress.com/2013/04/11/sekilas-tentang-jabatan-notaris/